In CERPEN

Menang Hasil Curi, Jujur Dapat Kalah


Cukup lama kami berdiri didepan sekolah menunggu mobil angkutan umum yang sudah di carter oleh salah satu guru untuk membawa kami ke lokasi LCCM (Lomba Cerdas Cermat Matematika). Kami merasa senang, terutama aku yang akhirnya bisa mengikuti lomba terkait dengan mata pelajaran yang ku suka.

Rasa senang itu tentu diikuti dengan perasaan khawatir, takut. Satu tahun yang lalu sekolah kami mengikuti lomba yang sama namun tidak masuk dalam cerdas cermat, gugur di seleksi awal. "Apakah kami akan mengalami nasib yang sama seperti kakak kelasku?" Tanya ku dalam hati. Pertanyaan ini mungkin dipertanyakan juga pada teman-teman yang lain. Melihat ketegangan dan seolah mendengar hati kami, salah satu guru yang menemani menenangkan kekhawatiran kami.

Kami sampai sebelum waktunya, detak jantung berdebar semakin kencang, tubuhku gemetar, keringat dingin pun mulai bercucuran. Melihat para peserta dari sekolah lain yang tampak tenang tambah membuat yakin bahwa kami tidak akan menang. Pesimis yang terlalu berlebihan.

"Perlombaan LCCM tingkat VIII Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas saya buka!." Dengan lantang dibacakan oleh pembawa acara mengakhiri pembukaan dan sambutan oleh ketua departemen sebelumnya.

Sekolah kami mendaftarkan 2 tim yang masing-masing terdiri dari 4 orang. Kelompok dengan kode F2020 terdiri dari Icha, Indy, Nawa yaitu aku, dan Anah, sementara kode F2021 ada Yusan, Oliv, Nurul, dan Esa.

Peserta duduk dengan kelompok masing-masing, beberapa kertas buram dan lembar kertas jawaban sudah diterima, disusul dengan 1 paket soal dalam amplop cokelat yang didepannya terdapat persyaratan perlombaan. Kami belum boleh membuka dan melihat soalnya hingga panitia menghitung 1... 2... 3... Yang menjadi tanda bahwa perlombaan sudah dimulai.

Kami membagi tugas, isi amplop itu terdiri dari 4 lembar, kebetulan sesuai dengan jumlah per tim. Perasaanku yang semrawut ini harus ku lawan, otak dan tanganku harus cepat berhitung, fokus. "Jangan panik, jangan panik." Gumamku, tahun lalu sekolah kami tidak masuk ke babak berikutnya karena panik yang berlebihan.

Beberapa soal sudah ku isi, sejenak ku memalingkan wajah melihat kelompok lain yang tampak nyaman dengan soal yang sama. Berlalu begitu cepat, waktu semakin sempit, perasaan tenang pun menjadi panik kembali, ada beberapa soal yang belum kami isi, panitia sudah menghitung mundur dari angka 10, menghentikan perlombaan dan segara mengambil kertas jawaban seluruh peserta. Setelah itu aku, Icha, Indy, dan Anah bergabung dengan kelompok yang satunya lagi, begitupun  sekolah-sekolah yang lain.

"Kita gak ngisi satu nomor." Ucap kelompok dari sekolah lain yang tidak jauh dari keberadaan kami.
"Kita sih ke isi semua." Sahut kelompok mereka yang lain.
"Kita juga gak ngisi satu nomor." Ucap Oliv, kami serentak menoleh kearahnya, anggota kelompok yang lain mengangguk, mengiyakannya.
"Kita malah sembilan nomor gak diisi." Anah menimpali, perasaan kami semakin tidak yakin.
"Mudah-mudahan kita masuk ke cerdas cermat besok." Ungkap Icha dengan sedikit percaya diri, meski wajahnya juga memasang kekhawatiran yang sama.
"Aamiin!." Jawab kami serentak.
"Ya semoga aja semua jawaban yang kita kerjain benar semua." Tambah Indy meyakinkan.
"Iya benar... benar...." Jawab Icha dengan nada khasnya.

Panitia hanya membutuhkan 10 menit untuk memeriksa jawaban, kemudian segera mengumumkan. Hatiku terus berdoa, mungkin mereka juga. Kami sendiri dari tingkat Sekolah Menengah Pertama, jumlah seluruh tim tingkat kami terdiri dari 21 kelompok, dan hanya menyisakan 9 kelompok untuk lanjut ke tahap cerdas cermat esok hari.

"Nilai tertinggi dari tingkat Sekolah Menengah Pertama adalah F2001, dibawahnya ada F2013, F2019, F2005, F2020...." Belum selesai panitia genap menyebutkan 9 kelompok, kami sudah kesenangan dan berteriak "ALHAMDULILLAH."

Terik matahari seolah mendukung acara ini, posisinya yang tepat diatas kepala dengan cahayanya yang silau semakin membuat semangat membara, begitu juga dengan tim ku, dengan terpilihnya kami, semangat itu kembali muncul. Pulang dengan hati senang dan penuh senyuman, meski tim Yusan, Oliv, Nurul, dan Esa tidak terpilih, tetapi mereka tentulah senang dengan masuknya tim aku.

Berbulan-bulan kami tidak ikut mata pelajaran full di sekolah untuk mempersiapkan semua ini, jarang bertemu teman sekelas, dan pulang lebih sore dari teman-teman yang lain.

"Anah gak apa-apa ya gak ikut cerdas cermat besok? Anah kan bisa ikut lagi tahun depan, sementara Icha, Indy, dan Nawa hanya memiliki kesempatan ini sekarang, mengingat Anah masih kelas VIII , sementara mereka sudah kelas IX." Ucap Bunda dengan penuh hati-hati agar tidak mengecewakan Anah. Bunda adalah panggilan untuk salah satu guru matematika kami, cerdas cermat besok hanya terdiri dari 3 orang per kelompoknya.
"Iya Bunda, gapapa kok." Ucap Anah sambil tersenyum, aku tidak tahu apakah hatinya terluka. "Anah percaya sama kakak-kakak semua." Tambahnya lagi. Kami tersenyum penuh haru. Keputusan ini langsung disampaikan dalam perjalanan pulang, mungkin 3 guru matematika kami dan 1 bapak kesiswaan sudah merembukannya tanpa sepengetahuan kami tadi.

***

Anah, Yusan, Oliv, Nurul, dan Esa tetap pergi, mereka akan menjadi suporter kami, juga bapak-bapak guru kami, hari ini kami tidak didampingi dengan guru-guru matematika kami, bunda harus mengajar.

Tiitt... Tiiit... Nada pesan masuk, suara itu dari handphone Indy yang berisi:
"Maaf, Bu Diah kali ini gak bisa hadir dikarenakan ada halangan, Ibu cuma pesan jangan memandang lawan kita, itu akan membuyarkan pikiran kalian. Walaupun Ibu gak hadir tapi doa Ibu terus untuk kalian, semoga menang. Kalau nanti sudah selesai sms balik Ibu ya." Indy membacakannya untuk kami, Bu Diah adalah guru matematika kami dikelas IX ini.

Indy mewakili kami, mengambil gulungan kertas yang berisi nomor urut perlombaan, kami mendapat gelombang 3 regu B, saingan kami adalah mereka-mereka yang kemarin mendapat nilai tertinggi.

Karena kami mendapat giliran terakhir, beruntung bisa belajar dari soal-soal yang keluar pada gelombang sebelumnya. Gelombang pertama selesai, kami tersentak kaget bahwa kami maju lebih dulu, kecewa kenapa terjadi perubahan tanpa pemberitahuan sebelumnya, dengan begitu kami tetap maju, mau tidak mau. Kami berhasil menjawab di tipe soal pertama, nilai kami terlihat baik. Berikutnya soal rebutan, namun hasil kami jauh dibawah regu A dan C.

"Wa, liat ke regu A deh. Main curang tau." Bisik Indy ke telingaku, posisi duduk ku di tengah antara Indy dan Icha.
Aku menoleh.
"Coba liat ke suporternya juga." Tambahnya

Aku menoleh ke arah yang dimaksud, benar saja beberapa suporternya memegang ponsel, seperti mencari dan menghitung sesuatu. Lalu hasilnya digerakkan dengan tangan secara manis sekali, tidak akan ada yang memerhatikan cara main mereka, suporter regu A paling banyak di antara suporter yang lain. Regu A bertubi-tubi menjawab dengan cepat dan tepat, aku dan Indy sudah kepalang pasrah, selain juga begitu sangat kesal dan kecewa.

Matahari lagi-lagi seolah merasakan yang sama, jika kemarin dia bersinar sangat membara, hari ini perlahan awan biru kehitaman berkumpul, hingga menutup matahari, air pun turun sangat deras.

Dengan hati yang sedih, kami memutuskan langsung pergi, tidak kuasa melihat sampai akhir. Hasil akhirnya nilai tertinggi dari 3 gelombang tadi yang akan di adu kembali, dan pemenangnya akan mewakili kota kami di Ibu Kota nanti.

"Kenapa harus orang curang yang menang?." Pertanyaan itu terus menghantui ku. Hingga sampai dirumah pertanyaan itu terjawab oleh kedua orangtua ku.
"Biarin aja, yang penting kita jujur, meski kalah. Hasilnya memang menyakitkan sekarang, tapi di masa depan nanti akan tahu seberapa menakjubkannya ketika orang-orang mempertahankan sebuah kejujuran dalam kehidupan diri seseorang."

Benar, untuk apa menang kalau itu hasil curian, lebih mulia kalah karena kejujuran.

"Kita bisa mengikuti perlombaan di Sekolah Menengah Atas nanti, jangan bersedih. Terus berusaha, belajar dan lakukan yang terbaik." Pesan singkat dari Bu Diah sampai kepada kami semua.

Mengingat kembali perkataan itu, hati ku cukup lega dan tenang. Bukankah kekalahan adalah kemenangan yang tertunda? Mungkin suatu saat nanti aku bisa memenangkan satu dua perlombaan yang tak terduga, dari segala bidang yang aku sukai. Percayalah.

Related Articles

0 komentar:

Post a Comment

Aku (Simu)

My photo
: Tuang kata, ukir makna, pena menari, acak akal, kaya-karya.

Comments