In CERPEN

Sabahat atau pacarmu



Laras bangun terlambat di hari libur ini, terlihat jam weker disampingnya sudah menunjukkan pukul 06.45, tidak berbunyi. Perasaan malas dan kesal meliputi hati dan pikirannya, pagi ini telah mengembalikannya ke dalam nyata. Ia bangun dari tempat tidurnya dan bergegas mengambil handuk lalu mandi.
"Hm.... lagi-lagi mimpiin si Yanti, sudah beberapa hari ini aku mimpiin dia, aku harus melakukan sesuatu." Pikirnya.
"Ya! Ini semua demi persahabatan kita, aku tidak mau seseorang menghancurkan persahabatan yang sudah lama dijalani ini." Tegasnya kembali.

Dari luar kamar terdengar suara seseorang menyiapkan makanan.  Selesai mandi dan berpakaian Laras bergegas mengambil topi kesayangannya, dan menutup pintu kamarnya. Melangkah menuju meja makan.
"Ma, Laras mau ke rumah Yanti." Teriak Laras yang sudah berada dibagasi, duduk diatas sepeda kesayangannya dan dipakainya topi yang sedari tadi dibawa saat sarapan.
"Teet... teet... teeettt...."
"Laras? Ada apa kesini?." Tanya Yanti heran.
"Mau ngomong sesuatu, boleh?"
"Boleh, cuma sebenarnya aku mau pergi sama..." Terangnya yang sudah berpakaian rapi.
"El maksud kamu?" Potong dan tebak Laras
"Iya."
Yanti mempersilahkan Laras untuk masuk dan duduk.
"Mau minum apa?"
"Gak usah, katanya mau pergi. Jadi aku langsung aja."
"Mau ngomong apa sih?."
"Kenapa kamu udah berapa bulam ini gak ikut kumpul bareng kita?."
"Hm...."
"Jawab dong, kenapa? apa karena El?."
"Bukan."
"Terus?, kamu berubah semenjak pacaran sama dia. Dan jujur aja aku sama anak-anak yang lain gak suka sama dia."
"Oke, tapi bukan karena dia."
"Apa alasan kamu kalo bukan karena dia? El berpengaruh buruk buat kamu."
"Tapi dia cinta dan sayang sama aku."
"Cinta? Sayang? El gak sebaik yang kamu pikir."
"Jangan pernag jelek-jelekin dia!."
"Kenapa? Itu benar kan?."
"Kamu gak kenal dia, jadi gak usah sok tahu!."
"Sok tahu? Ti, itu fakta kan? Temen aku bilang dia cuma mau pacaran sama cewek yang cantik, cara pikir dia jelek dan cara dia kalo ngomong tuh keliatan sandiwaranya."

Suasana berlangsung hening seketika, sejenak mereka menghela napas yang panjang."
"Sekarang aku tanya, apa kamu sayang sama dia? Apa kamu cinta?."
"Aku sayang sama dia."
"Tapi kamu gak cinta kan?."
"Itu...."
"Itu benar kan? Ti, aku kenal kamu, aku tau apa yang kamu suka dan apa yang gak kamu suka. Termasuk dalam urusan cowok seperti ini, bahkan sampe sekaranc kamu belum cinta kan sama El?."
"Aku mencoba mencintai dia."
"Ngga ti, kamu gak akan pernah bisa. Kamu masih cinta sama Putra, dia kan yang kamu suka selama ini?."
"Ya... ya..  Bener sih. Tapi aku juga berusaha ngelupain Putra kok." Jawabnya sedikit meragu.
"Berusaha? Lupain Putra? Bisa? Aku tau sifat kamu. Selama ini kamu gonta-ganti pacar, apa kamu bisa cinta sama mereka? Engga kan? Bahkan ngebayangin dia terus dan kalo ketemy Putra kamu masih degdegan."
"Tapi...."
"Udahlah gak usah ngelak lagi. Kenapa sih kamu lebih memilih El dibanding kita? Kita sahabatan udah 4tahun, sementara hubungan kamu sama El aja belum ada setengah tahun dan kamu lebih belain dia?."
"Terserah kamu mau ngomong apa, yang jelas aku sayang sama El."
"Tapi kamu gak tau kalo dia cinta sama kamu itu palsu."
"Maksud kamu?."
"Iya, cinta palsu. Dia ngaku cinta dengan kata-kata pengakuan dan kehangatan yang sebegitunya tapi hatinya penuh kebencian dan kepura-puraan. Apa kamu tau siapa yang dicintainya selama ini?."
"Engga. Lagian apa buktinya?."
"Bukti? Kamu harusnya bisa liat semua perilakunya, cara bicaranya. Kalo emang dia cinta sama kamu apa buktinya? Kamu aja mencoba mencintai dia tapi hati kamu tetap cinta Putra. Bisa aja kan El juga kayak gitu?."
"Enggak mungkinlah!."
"Kamu bilang gak mungkin karena udah kena virus cinta aja, jadi gak bisa liat mana baik dan buruk."
"Cukup! Kalo kalian emang gak suka sama El itu terserah kalian."
"Aku cuma gak mau kamu kenapa-napa ti, aku ini sahabat kamu. Kita semua sayang sama kamu."

Suasana semakin panas, emosi Laras dan Yanti meninggi. Yanti bingung dengan kata-kata Laras, ucapan-ucapan itu mengganggu pikirannya namun berlalu cepat, Yanti menanggap itu hanya angin lalu, ia tahu Laras dan teman-teman yang lain tidak menyukai El.
Terdengar suara motor menghampiri rumah Yanti, suara motor yang tak asing. Yanti beranjak dari duduknya dan melihat siapa yang datang. Dilihatnya El sudah berdiri dibalik pagar rumah.

"Kamu mau pergi sekarang?." Tanya Laras yang sudah berada dibelakangnya.
"Kali kamu gak keberatan untuk pulang, mungkin iya." Jawab Yanti hati-hati.
"Oke, baik. Aku cuma mau kamu percaya sama aku."
"Percaya apa? Tentang omongan kamu tadi? Aku rasa itu gak mungkin dan sulit dipercaya." Tegasnya
"Aku denger semua percakapan El waktu kumpul sama teman-temannta. Kamu tau? Berapa bulan kamu gak kumpul sama kita itu juga semua karena El. El sengaja ngelarang kamu untuk bertemu sama kita. Padahal waktu kamu pacaran sama Qiki, Qiki gak pernah ngelaranf kamu untuk kumpul bareng kita. Sekarang terserah kamu, mau lebih percaya sama dia atau kita. Aku pulang dulu, dah." Ucap Laras lalu pergi.

El yang berdiri disana merasa heran, tatapan Laras saat melewatinya begitu tajam, terlihat ketidaksukaan diwajahnya. Tak lama Yanti pun pergi bersama El dengan sepeda motor yang dibawanya.
Malam tiba, Laras berbaring diranjangnya melihat langit-langit kamarnya, berusaha memejamkan mata, hanya Yanti yang seharian ini ada dibenaknya. Ia merasa gelisah hingga membutuhkan waktu lama untuk terlelap.

***

"Ras, maaf ya. Kalo beberapa bulan ini aku berubah, aku gak nyangka semua omongan kamu benar. El memang pura-pura. Aku malu udah gak percaya sama kamu. Aku harap kalian mau memaafkan dan tetap menerima aku sebagai sahabat kalian. Best friend forever." 
Sms itu langsung dibaca Laras saat terbangun dari tidurnya, dibacanya dalam hati sambil melihat foto mereka bersama teman-teman yang lain yang ada di dinding kamarnya dengan senyuman yang menghiasi wajahnya yang manis, "Best friend forever." Ucapnya dalam hati.


Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In CERPEN

Menang Hasil Curi, Jujur Dapat Kalah


Cukup lama kami berdiri didepan sekolah menunggu mobil angkutan umum yang sudah di carter oleh salah satu guru untuk membawa kami ke lokasi LCCM (Lomba Cerdas Cermat Matematika). Kami merasa senang, terutama aku yang akhirnya bisa mengikuti lomba terkait dengan mata pelajaran yang ku suka.

Rasa senang itu tentu diikuti dengan perasaan khawatir, takut. Satu tahun yang lalu sekolah kami mengikuti lomba yang sama namun tidak masuk dalam cerdas cermat, gugur di seleksi awal. "Apakah kami akan mengalami nasib yang sama seperti kakak kelasku?" Tanya ku dalam hati. Pertanyaan ini mungkin dipertanyakan juga pada teman-teman yang lain. Melihat ketegangan dan seolah mendengar hati kami, salah satu guru yang menemani menenangkan kekhawatiran kami.

Kami sampai sebelum waktunya, detak jantung berdebar semakin kencang, tubuhku gemetar, keringat dingin pun mulai bercucuran. Melihat para peserta dari sekolah lain yang tampak tenang tambah membuat yakin bahwa kami tidak akan menang. Pesimis yang terlalu berlebihan.

"Perlombaan LCCM tingkat VIII Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas saya buka!." Dengan lantang dibacakan oleh pembawa acara mengakhiri pembukaan dan sambutan oleh ketua departemen sebelumnya.

Sekolah kami mendaftarkan 2 tim yang masing-masing terdiri dari 4 orang. Kelompok dengan kode F2020 terdiri dari Icha, Indy, Nawa yaitu aku, dan Anah, sementara kode F2021 ada Yusan, Oliv, Nurul, dan Esa.

Peserta duduk dengan kelompok masing-masing, beberapa kertas buram dan lembar kertas jawaban sudah diterima, disusul dengan 1 paket soal dalam amplop cokelat yang didepannya terdapat persyaratan perlombaan. Kami belum boleh membuka dan melihat soalnya hingga panitia menghitung 1... 2... 3... Yang menjadi tanda bahwa perlombaan sudah dimulai.

Kami membagi tugas, isi amplop itu terdiri dari 4 lembar, kebetulan sesuai dengan jumlah per tim. Perasaanku yang semrawut ini harus ku lawan, otak dan tanganku harus cepat berhitung, fokus. "Jangan panik, jangan panik." Gumamku, tahun lalu sekolah kami tidak masuk ke babak berikutnya karena panik yang berlebihan.

Beberapa soal sudah ku isi, sejenak ku memalingkan wajah melihat kelompok lain yang tampak nyaman dengan soal yang sama. Berlalu begitu cepat, waktu semakin sempit, perasaan tenang pun menjadi panik kembali, ada beberapa soal yang belum kami isi, panitia sudah menghitung mundur dari angka 10, menghentikan perlombaan dan segara mengambil kertas jawaban seluruh peserta. Setelah itu aku, Icha, Indy, dan Anah bergabung dengan kelompok yang satunya lagi, begitupun  sekolah-sekolah yang lain.

"Kita gak ngisi satu nomor." Ucap kelompok dari sekolah lain yang tidak jauh dari keberadaan kami.
"Kita sih ke isi semua." Sahut kelompok mereka yang lain.
"Kita juga gak ngisi satu nomor." Ucap Oliv, kami serentak menoleh kearahnya, anggota kelompok yang lain mengangguk, mengiyakannya.
"Kita malah sembilan nomor gak diisi." Anah menimpali, perasaan kami semakin tidak yakin.
"Mudah-mudahan kita masuk ke cerdas cermat besok." Ungkap Icha dengan sedikit percaya diri, meski wajahnya juga memasang kekhawatiran yang sama.
"Aamiin!." Jawab kami serentak.
"Ya semoga aja semua jawaban yang kita kerjain benar semua." Tambah Indy meyakinkan.
"Iya benar... benar...." Jawab Icha dengan nada khasnya.

Panitia hanya membutuhkan 10 menit untuk memeriksa jawaban, kemudian segera mengumumkan. Hatiku terus berdoa, mungkin mereka juga. Kami sendiri dari tingkat Sekolah Menengah Pertama, jumlah seluruh tim tingkat kami terdiri dari 21 kelompok, dan hanya menyisakan 9 kelompok untuk lanjut ke tahap cerdas cermat esok hari.

"Nilai tertinggi dari tingkat Sekolah Menengah Pertama adalah F2001, dibawahnya ada F2013, F2019, F2005, F2020...." Belum selesai panitia genap menyebutkan 9 kelompok, kami sudah kesenangan dan berteriak "ALHAMDULILLAH."

Terik matahari seolah mendukung acara ini, posisinya yang tepat diatas kepala dengan cahayanya yang silau semakin membuat semangat membara, begitu juga dengan tim ku, dengan terpilihnya kami, semangat itu kembali muncul. Pulang dengan hati senang dan penuh senyuman, meski tim Yusan, Oliv, Nurul, dan Esa tidak terpilih, tetapi mereka tentulah senang dengan masuknya tim aku.

Berbulan-bulan kami tidak ikut mata pelajaran full di sekolah untuk mempersiapkan semua ini, jarang bertemu teman sekelas, dan pulang lebih sore dari teman-teman yang lain.

"Anah gak apa-apa ya gak ikut cerdas cermat besok? Anah kan bisa ikut lagi tahun depan, sementara Icha, Indy, dan Nawa hanya memiliki kesempatan ini sekarang, mengingat Anah masih kelas VIII , sementara mereka sudah kelas IX." Ucap Bunda dengan penuh hati-hati agar tidak mengecewakan Anah. Bunda adalah panggilan untuk salah satu guru matematika kami, cerdas cermat besok hanya terdiri dari 3 orang per kelompoknya.
"Iya Bunda, gapapa kok." Ucap Anah sambil tersenyum, aku tidak tahu apakah hatinya terluka. "Anah percaya sama kakak-kakak semua." Tambahnya lagi. Kami tersenyum penuh haru. Keputusan ini langsung disampaikan dalam perjalanan pulang, mungkin 3 guru matematika kami dan 1 bapak kesiswaan sudah merembukannya tanpa sepengetahuan kami tadi.

***

Anah, Yusan, Oliv, Nurul, dan Esa tetap pergi, mereka akan menjadi suporter kami, juga bapak-bapak guru kami, hari ini kami tidak didampingi dengan guru-guru matematika kami, bunda harus mengajar.

Tiitt... Tiiit... Nada pesan masuk, suara itu dari handphone Indy yang berisi:
"Maaf, Bu Diah kali ini gak bisa hadir dikarenakan ada halangan, Ibu cuma pesan jangan memandang lawan kita, itu akan membuyarkan pikiran kalian. Walaupun Ibu gak hadir tapi doa Ibu terus untuk kalian, semoga menang. Kalau nanti sudah selesai sms balik Ibu ya." Indy membacakannya untuk kami, Bu Diah adalah guru matematika kami dikelas IX ini.

Indy mewakili kami, mengambil gulungan kertas yang berisi nomor urut perlombaan, kami mendapat gelombang 3 regu B, saingan kami adalah mereka-mereka yang kemarin mendapat nilai tertinggi.

Karena kami mendapat giliran terakhir, beruntung bisa belajar dari soal-soal yang keluar pada gelombang sebelumnya. Gelombang pertama selesai, kami tersentak kaget bahwa kami maju lebih dulu, kecewa kenapa terjadi perubahan tanpa pemberitahuan sebelumnya, dengan begitu kami tetap maju, mau tidak mau. Kami berhasil menjawab di tipe soal pertama, nilai kami terlihat baik. Berikutnya soal rebutan, namun hasil kami jauh dibawah regu A dan C.

"Wa, liat ke regu A deh. Main curang tau." Bisik Indy ke telingaku, posisi duduk ku di tengah antara Indy dan Icha.
Aku menoleh.
"Coba liat ke suporternya juga." Tambahnya

Aku menoleh ke arah yang dimaksud, benar saja beberapa suporternya memegang ponsel, seperti mencari dan menghitung sesuatu. Lalu hasilnya digerakkan dengan tangan secara manis sekali, tidak akan ada yang memerhatikan cara main mereka, suporter regu A paling banyak di antara suporter yang lain. Regu A bertubi-tubi menjawab dengan cepat dan tepat, aku dan Indy sudah kepalang pasrah, selain juga begitu sangat kesal dan kecewa.

Matahari lagi-lagi seolah merasakan yang sama, jika kemarin dia bersinar sangat membara, hari ini perlahan awan biru kehitaman berkumpul, hingga menutup matahari, air pun turun sangat deras.

Dengan hati yang sedih, kami memutuskan langsung pergi, tidak kuasa melihat sampai akhir. Hasil akhirnya nilai tertinggi dari 3 gelombang tadi yang akan di adu kembali, dan pemenangnya akan mewakili kota kami di Ibu Kota nanti.

"Kenapa harus orang curang yang menang?." Pertanyaan itu terus menghantui ku. Hingga sampai dirumah pertanyaan itu terjawab oleh kedua orangtua ku.
"Biarin aja, yang penting kita jujur, meski kalah. Hasilnya memang menyakitkan sekarang, tapi di masa depan nanti akan tahu seberapa menakjubkannya ketika orang-orang mempertahankan sebuah kejujuran dalam kehidupan diri seseorang."

Benar, untuk apa menang kalau itu hasil curian, lebih mulia kalah karena kejujuran.

"Kita bisa mengikuti perlombaan di Sekolah Menengah Atas nanti, jangan bersedih. Terus berusaha, belajar dan lakukan yang terbaik." Pesan singkat dari Bu Diah sampai kepada kami semua.

Mengingat kembali perkataan itu, hati ku cukup lega dan tenang. Bukankah kekalahan adalah kemenangan yang tertunda? Mungkin suatu saat nanti aku bisa memenangkan satu dua perlombaan yang tak terduga, dari segala bidang yang aku sukai. Percayalah.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In CERPEN

Ungkapan yang (tidak) terlambat


Lampu kamar sudah lama redup, Zi masih belum juga memejamkan mata, segala kesah risuh di kepalanya begitu mengganggu, terus bergumam dalam hati mengulang kalimat yang sama.

"Apa aku yang harus lebih dulu mengatakan?"

Ragu semakin menggebu akibat menyadari pesan terakhir itu juga tak dibalas, belum lagi ini sudah terlalu lama berjeda.

"Bangun mbak, katanya nanti mau main sama temannya." Si bontot Awa sudah berada diatas kasur menggoyangkan badan kakaknya lantas pergi membuka tirai jendela, meminta bantuan pada matahari untuk menyiram wajah kakaknya dengan sinar yang benderang.

"Iya wa, makasih udah dibangunin." Balas Zi dengan suara parau yang entah jawaban itu terdengar atau tidak, adiknya sudah berada diluar kamarnya.

Separuh raganya semangat, separuh lagi tidak. Hal-hal yang membuat kacau pikirannya telah memperdaya, hanya saja sebagai anak tertua dia merasa harus terlihat baik-baik saja.

Tidak banyak pohon di sepanjang jalan gang rumah Zi, hanya ada satu dua itupun daunnya sudah mulai mengering, ini musim panas. Jam main yang mereka buat terjadwal di siang bolong, dengan peluh bercucuran di belokan terakhir Gre lupa arah rumah Zi dan memutuskan video call, meminta diarahkan hingga wajah Zi muncul di layar dengan lambaian tangan dan senyum lebar.
"Duh pasti belum mandi nih anak." Sapa Gre tertahan, dia berbicara dalam hati lebih dulu.
"Katanya minta dijemput depan gang!" Seru Zi dengan wajah baik-baik saja.
"Alah, chat dari pagi aja belum dibalas."

Bersabarlah, itu anjuran penting yang harus dilakukan jika sudah mengatur main dengan Zi, Gre bahkan memberi julukan "Ratu Ngaret Kedua" untuk Zi dan jangan coba-coba marah dengan segala tingkahnya, Zi juga mendapat julukan "Si Tidak Peka".

Gre duduk di sofa mengatur napas yang masih sedikit terengah-engah sambil melepas topi yang dikenakannya, Zi sudah kembali dengan segelas jus buah segar.
Ini kali pertamanya lagi Gre ke rumah Zi setelah sekian lama. Tidak memberi kesan yang membuat dirinya terlihat sudah berubah, Zi masih sama, lupa waktu yang mereka tentukan sudah molor jauh, belum lagi satu dua peristiwa yang semakin membuat larut, mereka akhirnya sampai di tempat yang diinginkan di waktu senja.

Zi dan Gre terpaksa memilih saung nomor 13, setelah melihat semua saung yang diinginkan sudah terisi orang lain. Tidak berapa lama meja kecil dihadapannya sudah penuh dengan semua menu yang mereka pesan, tetap ada gelak tawa ditengah percakapan serius yang sudah dibahas sebelumnya via chat.

"Aku di unfoll sama Tya." Beritahu Gre
"Hah? Kenapa ya? Coba liat profilnya."
"Gak tau, aku unfoll balik, akunnya di privasi, mereka udah lama jadian?"
"Baru sekitar 8 bulan."
"Hubungan kamu sama Ka baik-baik aja kan?"
"Baik, cuma terakhir chat ngajak ketemu gak dibalas lagi. Sedikit tersendat karena awal tahun sudah mulai jarang komunikasi, mau baca arsip chatnya?"

Gelato yang dipesan separuh cair, sebaliknya roti bakar belum habis separuh, segitu-gitu saja hanya berkurang sedikit dari porsi utuh, kondisi perut mereka memang sudah sangat kenyang saat sampai ditempat ini, hanya cup kopi dan unicorn yang sudah hampir habis. Percakapan kali ini lebih membutuhkan pelepas dahaga.

Gre hanya membaca setahun belakangan saja isi chat Zi dan Ka.
"Benar-benar deh, gak sepeka itu kamu jadi orang." Ucap Gre di beberapa scrolling kolom chatting. "Ya ampun, ini manis banget, aku aja baper." Gre menatap Zi heran.
"Bagian mana sih?." Yang ditatap balik heran, salah tingkah ketika Gre menunjukkan, lalu terdiam.
"Jadi mau gimana?" Tanya Gre
"Gak tau, bingung. Menurut kamu?"
"Ya katakan aja kalo emang itu akan membuat lega, tapi ada yang perlu kita cari tahu dulu."
"Apa?." Jawab Zi singkat
"Udah sejauh mana hubungan mereka, maksudnya coba liat ini." Gre menunjukkan instagram milik Tya meski diprivasi setidaknya foto profilnya jelas terlihat, "Liat backdrop profilnya." Tekan Gre agar paham maksud arahnya kemana.
"Pastiin kalo mereka belum tunangan?." Tanya Zi sambil menahan banyak perasaan setelah menyadari apa yang baru saja dilihatnya.
"Iya, kamu boleh mengungkapkan semua perasaan kamu ke Ka jika memang mereka belum tunangan, tapi kalo udah kita berhenti sampai sini."
"Gimana caranya?"
"Aku akan coba buat status, bertanya siapa tahu ternyata temanku ada yang satu kantor dengan Ka."

***
Dua hari setelah pertemuan itu, ide Gre menghasilkan setengah jawaban, meski hanya mendapat detail letak lantai dan alamat kantornya Ka saja.
"Zi, Nay juga di unfoll Tya." Gre mengawali chat hari ini.
"Hah? Kenapa ya? Mungkin bisa cari tahu dulu siapa aja yang diunfoll, kenapa ya serajin itu unfoll orang-orang tertentu"
"Gausah, fokus ke Ka aja, atau kita langsung tanya ke Ata aja?."
"Yakin gak Gre?."
"Ini dia, kalo misal Ata jawab tapi dia ngasih tau ke salah satu gimana? Aku sih mikirin ke kamu nya."
"Kalo Ata ngasih tau ke Ka jatuhnya lebih bijak gak sih, mengingat Ata satu genk sama Ka dan Tya."
"Dah lah gemes kudu harus segera diselesaikan. Nanya Ata aja nih ya"
"Mmm, yasudah, gapapa, Bismillah. Aku tau kamu harus mulai dan mengakhiri percakapan sampai mana sama Ata."

Belum genap satu menit, Gre sudah mendapatkan jawaban dari Ata, jawaban yang bahkan membuat Gre gemetar.
"Telpon Ka sekarang! bilang sekarag! Gak usah ketemu, cepet Zi!." Perintah Gre panik.
"Hah?" Jawab Zi bingung.
"Malam ini juga."
"Kenapa gitu?."
"Cepetan."
"Gre tapi aku belum siap. Ini ada apa? Kenapa?"
"Harus siap, malam ini atau nggak sama sekali Zi."
"Udah lamaran ya? Tapi yang lain masih bangun. Aku pasti bakal nangis."
Zi lupa bahwa Gre tidak mengizinkan itu terjadi jika memang Ka dan Tya sudah tunangan.
"Keluar sebentar, cuma malam ini waktunya."
"Kenapa? Ada apa? Ata bilang apa?, Ka online tapi gak diangkat, dia chat "Kenapa Zi?".
Karena paniknya Gre dengan waktu yang sudah mepet sekali, Gre akhirnya menghubungi Zi via telepon. Jam menunjukkan pukul 22.10.
"Mereka lamaran besok." Gre akhirnya mengatakan itu setelah mencoba menahan, bermaksud agar Zi bertindak cepat tanpa tahu itu lebih dulu, Gre tahu hati Zi tentu tidak akan baik-baik saja mendengar ini.
"HAH? Yaudah oke sebentar aku cari alasan buat keluar rumah dulu."
Gre menutup telpon dan melanjutkan kembali percakapan mereka via chat, sementara Zi sudah siap untuk pergi keluar.
" Iya aku juga pantau, bilang mau ngomong sebentar, akhiri dengan baik, jangan lupa doain dia juga. Balik lagi tujuan awal cuma mau mengutarakan biar lega aja kan."
"Iya Gre. Aku udah nahan. Bisa gak ya aku ngomongnya?."
"Semangat ya.... Bisa, Bismillah. Coba telpon lagi sampe diangkat."
"Udah 2 kali gak diangkat, coba sekali lagi. Kalo gak diangkat juga berarti dia emang mau aku tau diri."
"Ketemu gak bisa waktunya mepet sekali, telpon juga gak bisa, oke tinggal satu cara, chat."
"Gre, aku udah nangis. Ah. Aku gemeteran."

Assalamu'alaikum Ka. Maaf kalo aku ganggu waktunya. Mungkin kamu risih banget karena aku.
Sebelumnya aku cuma mau pastiin sesuatu yang selama ini terus menerus muncul di pikiran. Semenjak terakhir kali kita deket. Sekitar Januari 2019.
Mungkin aku orang terakhir yang tau hubungan kamu sama Tya. Semoga aku gak di waktu yang salah karena setelah lebih dari satu tahun mengusik hubungan kamu. Semoga aku bilang ini sebelum kamu punya ikatan yang lebih serius baik itu ikatan pernikahan ataupun pertunangan. Tapi kalau emang aku ada di waktu yg salah, aku minta maaf dan kamu cukup baca sampai kalimat ini. Jangan diterusin.
Aku cuma gak mau ada penyesalan nantinya karna aku gak dapet jawaban yang mungkin sampe mati.
Setelah selesai kuliah, aku sering pergi main sama kamu. Aku gak tau apa yang aku rasain. Sekedar senang karena punya kamu sebagai teman yang selalu dengerin semua curhatan aku terutama kisah cinta aku sebelumnya. Setiap kamu ngajak nonton, ngajak kulineran, atau apapun aku semangat. Setiap kamu bilang kangen, aku seneng. Rasa itu yang selalu bikin aku bingung. Aku berpikir apa aku nyaman karena punya teman laki-laki yang baik yang selalu jadi pendengar setia pengganti Fat. Atau aku sekedar senang karena kebebasan yang aku punya dirayakan dengan teman.
Aku tau ini telat. Telat banget. Tapi aku mau bilang kalo aku kangen juga sama kamu.
Aku munafik karena menolak perasaan aku sendiri. Alih alih karena takut kamu cuma main-main, kamu cuma nyakitin sama kayak Cio.
Tapi aku butuh action. Aku gak tau ini bener atau aku cuma kepedean terus baper sama becandaan kamu. Aku setiap waktu nunggu kamu bilang "mau gak jadi pacar aku?"
Tapi sampai kita berakhir tanpa aba-aba. Aku mungkin sadar kalo cuma aku yang punya perasaan.
Tapi kalo emang kamu punya perasaan yang seperti orang bilang, kamu gak bilang dengan serius dan nembak aku?
Kalo emang kamu punya perasaan kenapa tiba-tiba aku kayak ditinggal tanpa say good bye.
Atau kamu begitu karena ada yang salah sama aku?
Aku selalu berpikir mungkin kamu tiba-tiba hilang karena aku gak setara sama kamu.
Gak setara dalam hal pekerjaan?
Gak setara dalam hal gaya hidup?
Atau apa?
Karena setelah aku pikir setiap hari sampai sekarang, terakhir kali kamu nganterin aku balik. Aku nunjukin rumah aku yang jelek yang di kampung. Bukan rumah di sebuah perumahan. Dan itu yang buat aku gak pantes?
Atau karena hobi yang berbeda?
Aku butuh jawaban kenapa kamu tiba-tiba tanpa aba-aba begitu?

Zi masih berada diluar rumah, dia berhenti dekat taman perumahan terdekat, air matanya sudah membasahi pipi selama 5 menit, Gre hanya bisa menemani via chat, menyesali karena tidak bisa disamping Zi disaat seperti ini, menyesali cerita yang baru di dengar beberapa hari lalu dan misi membantu, tidak bertindak selama 2 hari, berakhir terlambat.

Sekitar 20 menit berlalu, ungkapan Zi tidak mendapat balasan, meski selama itu juga room chat Ka berstatus "online". Hanya beberapa menit lagi hari berganti, Zi akhirnya beranjak kembali ke rumah.

"Kabar itu sampai juga malam ini Ka, aku yang beberapa bulan ini nyoba buat mulai tapi ke tahan sama berbagai macam pikiran yang ada di otak, kaget, gemeteran, nangis karena benar-benar udah telat banget, tapi aku tetap mau menyampaikan ini sebelum hubungan yang seserius itu terjadi, karena sadar aku bakal jahat banget sampe kalo ungkapan semua ini merusak hubungan kamu, ini biar aku lega aja. Ka, semoga apa yang kamu pilih tepat. Lancar buat semua yang udah kamu persiapkan, aku berdoa yang terbaik buat kamu. Dan doakan aku juga supaya bisa bangkit secepatnya. Terima kasih sekian tahun ada di sisi aku, mendengarkan semua celotehan aku, melihat semua keanehan aku, dan kejelekan aku. Setelah ini aku gak akan hubungin kamu lagi kok. Aku mawas diri. Aku cuma nungguin jawaban secepatnya. Gapapa kan? Biar aku juga bisa secepatnya ikhlas, melupakan, dan siap menjalani hidup dengan orang lain nantinya tanpa ada urusan di masa lalu yg belum kelar.

"Keberanian ku muncul di menit terakhir. Burung terlambat memberi kabar bahwa setelah hari berganti, adalah harinya. Tapi terima kasih untukku. Aku membuat aku lega." Ucap Zi dipenghujung waktu.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

Aku (Simu)

My photo
: Tuang kata, ukir makna, pena menari, acak akal, kaya-karya.

Comments