In CERPEN

Aku Menyebutnya Penolakan


Tahun lalu, di beri tugas menetap di kota yang orang-orang sebut planet, selama beberapa bulan, hampir semua orang yang kenal tahu itu.

Kala itu, aku sedang keluar. Beberapa stasiun lagi aku sampai pada kota yang ku maksud. Direct message instagramku memunculkan notif, dari orang yang di hari sebelumnya juga mengirimkan pesan, sama.
Kali ini chat itu langsung menunjukkan maksudnya, mengajak ke sebuah tempat, menginginkan makan dan minum ditempat yang pernah kita kunjungi bersama.

Beberapa chatnya memberi alasan dan perjanjian, yang sebenarnya itu tidak perlu.
Yang tahu aku pasti tahu, dan berhubung 2 stasiun lagi tiba, aku mengiyakan ajakannya.
Tak memungkinkan untuk ganti baju dan mandi, aku memilih menunggu di stasiun terakhir yang kebetulan stasiun itu tempat yang paling dekat dengan tujuan nanti, satu jam lebih aku menunggu, tak apa. Lagi, orang yang kenal dengan ku tahu, aku lebih suka menunggu karena aku tidak suka ditunggu, itu membuat orang lain membuang waktunya untukku.

Hingga tibalah kami, dia lebih dulu tiba beberapa menit sebelum aku.
Ini hari sabtu, tentu tempat makan ini ramai dan semakin ramai, terlebih kami tiba selepas magrib, jam makan malam. Kami harus menunggu, "waiting list".

Terpenuhilah permintaan dia, kami makan di satu meja yang sama, membicarakan sedikit tentang perpindahannya ke ujung kota esok hari. Aku terus berusaha agar bisa membantu, berulang kali mengatur jadwal dan minta izin agar bisa keluar dari kota ini sebentar.
Makan ku sedikit, selain tidak begitu lapar, aku mulai merasa ada yang mengganjal, "ada yang tidak menginginkan kehadiran ku" ini lebih terasa saat perbincangan mengenai perpindahan itu.
Baik tak apa, jika memang malam ini malam perpisahan kami, aku akan memberikan yang terbaik, memberikan yang diminta.

Sesuai keinginan, terlaksana. Suasana kali ini berbeda, aku yang kali ini malas beranjak untuk kembali lebih cepat, justru dikalahkan dengan drama yang mereka buat, mereka? Ya, dia bersama asisten pribadinya.
Aku yang tidak makan banyak berbeda rasa dengan mereka yang begah karena memakan banyak makanan yang mereka pesan. Dengan alasan kenyang dan ngantuk, mereka meminta pulang lebih dulu.

Aku diantar sampai depan, sebelumnya melewati parkiran yang disini aku memesan ojek online, mempersilakan mereka yang memang terlihat buru-buru ingin pulang, tak apa berpisah disini, kebetulan mereka membawa kendaraan sendiri, tapi ditolak berdalih dengan kekeh akan mengantarkan aku sampai depan.
Seperti biasa, kami bersalaman, melambaikan tangan, dan berterima kasih sebagai bentuk perpisahan. (Terjadi sekitar jam setengah sembilan)

Satu jam lebih dari waktu itu, sekitar pukul setengah 10, seseorang menghubungi ku, bertanya keberadaan dia.
Kau tahu? Apa yang terjadi pada ku? Aku panik! mulai berpikir mungkin terjadi apa-apa dengannya. Berdoa "semoga mereka baik-baik saja".

Tepat sebelum aku ingin menghubunginya, pesan muncul, memberitahu, "iya masih disana, aku liat dari live ig barusan"

Tegg!
Live ig? Aku membuka instagram ku tapi tak ada, mencoba membuka dari instagram bisnis ku (yang kebetulan dia tahu) juga tak ada, masa iya info ini salah, buat apa?

Satu cara ku untuk memastikan kebenaran, aku meminta membuka instagramnya lewat akun lain, dan benar sedang live.

Rasa khawatir ku runtuh, berubah jadi kecewa? Tidak. Hanya berubah jadi sebuah pertanyaan besar, "KENAPA?" 😔

Belum genap satu tahun aku mengenalnya, tapi aku sudah memposisikannya seperti saudara sendiri, seperti adikku sendiri, aku bahkan menamai kontaknya dengan simbol "keluarga", selain kami satu marga, aku begitu bangga padanya karena keberadaannya dikota ini untuk apa, aku berusaha memberikan yang mampu aku berikan, terlebih jika itu cuma sebuah perhatian.
Mungkin sekarang dia paham, aku yang biasanya sibuk mengomentari dan ramai memberi notif atas apa yang dia lakukan kini tak lagi, sadar diri.
Terjadi atas apa perlakuannya di malam terakhir itu membuat aku berpikir keras dan memutuskan, baik. Mungkin memang lebih baik tak lagi bersapa langsung meski sekedar bertanya kabar, tak lagi menatap muka. Aku akan melindunginya dalam doa, memastikan dia baik-baik saja.

Terima kasih pernah hadir dan menerima ku dengan hangat, meski kejadian itu membuat ku berpikir, apa ini yang disebut menerima?

Related Articles

0 komentar:

Post a Comment

Aku (Simu)

My photo
: Tuang kata, ukir makna, pena menari, acak akal, kaya-karya.

Comments